Selasa, 22 November 2011


Berdasarkan kajiannya terhadap ayat-ayat hukum,
Syahrur menyimpulkan adanya enam bentuk dalam teori batas yaitu:
Pertama, ketentuan hukum yang hanya memiliki batas bawah (al-hada al-adna). Ini terjadi dalam hal: macam-macam perempuan yang tidak boleh dinikahi (QS. an Nisa’: 22-23), berbagai jenis makanan yang diharamkan (QS. al Maidah: 3), hutang piutang (QS. al Baqarah: 283-284). Dalam hal perempuan yang dilarang untuk dinikahi, misalnya: berbagai macam perempuan yang disebutkan dalam ayat merupakan batas minimal perempuan yang tidak boleh dinikahi, tidak boleh kurang dari itu. Ijtihad hanya biasa dilakukan untuk menambah macam-macam perempuan yang tidak boleh dinikahi.
Kedua, ketentuan hukum yang memiliki batas atas (al-hadd al-a’la). Ini terjadi pada tindak pencurian (al Maidah: 38) dan pembunuhan (al Isra’: 33). Hukuman potong tangan bagi pencuri, misalnya merupakan batas maksimal10 sehingga tidak boleh memberikan hukuman yang lebih berat dari itu, tetapi biasa memberikan hukuman yang lebih rendah (penjara).
Ketiga, ketentuan hukum yang memiliki batas atas dan batas bawah sekaligus yang berlaku dalam hukum waris (an Nisa’: 11-14, 176), dan poligami (an Nisa’: 3). Dalam masalah waris, menurut Syahrur, batas atas adalah untuk ahli waris laki-laki dan batas bawah untuk perempuan. Maksudnya, bila didasarkan pada ayat bagian laki-laki dan perempuan mengacu prinsip 2:1, maka bagian 66,6 % bagi laki-laki merupakan batas atas sedangkan bagian 33,3 % bagi perempuan merupakan batas bawah.11 Oleh karena itu jika pada suatu ketika laki-laki hanya diberi bagian 60 %, dan anak perempuan diberi 40 % maka hal ini dibolehkan. W\ilayah ijtihad terletak pada daerah antara batas atas bagi laki-laki dan batas bawah bagi perempuan yang disesuaikan dengan kondisi obyektif masyarakat untuk mendekatkan di antara kedua batas tersebut.
Keempat, ketentuan hukum yang mana batas bawah dan batas atas berada pada satu titik (garis lurus). Ini berarti tidak ada alternatif hukum lain, tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih dari apa yang telah ditentukan. Menurut Syahrur bentuk keempat ini hanya berlaku pada hukuman zina, yaitu seratus kali dera. Kemudian hukuman tersebut hanya dapat dijatuhkan dengan adanya 4 orang saksi atau melalui li’an.
Kelima, ketentuan yang memiliki batas atas dan bawah tetapi kedua batas itu tidak boleh disentuh, karena menyentuhnya berarti telah terjatuh pada larangan Allah. Hal itu berlaku pada interaksi pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang dimulai dari tidak saling menyentuh sama sekali antara keduanya (batas bawah) hingga hubungan yang hampir (mendekati) zina.12 Jadi, jika antara laki-laki dan perempuan melakukan perbuatan yang mendekati zina tetapi belum berzina maka keduanya berarti belum terjatuh pada batas-batas (hudud) Allah. Karena zinalah yang merupakan batas-batas yang ditetapkan Allah yang tidak boleh dilanggar manusia.
Keenam, ketentuan hukum yang memiliki batas atas dan bawah, dimana batas atasnya berlambangkan positif (+) dan tidak boleh dilampaui, sedangkan batas bawahnya berlambangkan negatif (-) boleh dilampaui. Hal ini berlaku pada hubungan kebendaan sesama manusia. Batas atas yang dilambangkan positif (+) berupa riba, sementara zakat sebagai batas bawah dengan lambang negatif (-). Batas bawah ini boleh dilampaui yaitu dengan berbagai bentuk shadaqah, di samping zakat. Adapun diposisi tengah antara batas atas yang positif dan batas bawah yang negatif adalah nilai nol (zero) yakni dalam bentuk pinjaman kebajikan (al-Qard al-Hasan), memberi pinjaman tanpa memungut bunga (riba).
Dengan teori batasnya yang diajukannya ia meyakini bahwa risalah Rasulullah akan betul-betul terbukti sebagai Rahmatal lil ’alamin dan Salih li kulli zaman wa makan. Karena berdasarkan teori ini hukum-hukum Islam memiliki dinamika dan elastisitas yang sangat tinggi untuk menerima berbagai bentuk perubahan zaman dan tempat dalam batas-batas tertentu.

Dr. Ir. Muhammad Syahrur merupakan seorang insinyur berkebangsaan Syria, dilahirkan pada 1938M. Syahrur mengawali karir intelektualnya pada pendidikan dasar dan menengah di tanah kelahirannya, tepatnya di lembaga pendidikan Abdurrahman al-Kawakibi, Damaskus. Syahrur melanjutkan studinya ke Moskow, Uni Suviet untuk mempelajari teknik sipil (handasah madaniyah) atas beasiswa pemerintah setempat. Syahrur mulai berkenalan dengan pemikiran marxisme juga Hegel -terutama dialektika-nya-dan Alfred North Whitehead. Gelar diploma dalam bidang tersebut, ia raih pada tahun 1964. Lalu kembali ke Syria untuk mengabdikan dirinya sebagai dosen pada Fakultas Teknik di Universitas Damaskus.[1]
Dan, pada tahun yang bersamaan, Syahrur melanjutkan studi ke Irlandia, tepatnya di Ireland National University, Dublin dalam bidang studi mekanika tanah dan tekhnik pondasi. Pada tahun 1967, Syahrur berhak untuk melakukan penelitian pada Imperial College, London. Pada bulan Juni tahun itu, terjadilah perang antara Inggris dan Syria yang mengakibatkan renggangnya hubungan diplomatik antara dua negara tersebut. Namun hal tersebut tidak menghambatnya untuk segera menyelesaikan studinya. Terbukti ia segera berangkat kembali ke Dublin untuk menyelesaikan program Master dan Doktor-nya di bidang mekanika pertanahan (soil mechanics) dan teknik bangunan (foundation engineering). Gelar Doktor-nya ia peroleh pada tahun 1972. Syahrur secara resmi menjadi staf pengajar di Universitas Damaskus sebagai Dosen Fakultas Teknik. Pada tahun 1982-1983, Syahrur dikirim pihak universitas untuk menjadi staf ahli pada al-Saud Consult, Saudi Arabia. Selain itu, bersama beberapa rekannya di Fakultas, Syahrur membuka biro konsultan teknik (an engineering consultancy/dar al-Istisyârat al-Handasiyah) di Damaskus.[2]
            Sekilas, tidak ada pendidikan formal tentang ke-Islam-an yang ditempuh oleh Syahrur, namun dengan karyanya Al-Kitab wa Al-Quran; Qira`ah Mu`ashirah yang terbit 1990, membuat namanya tersohor sebagai pemikir muslim kontemporer. Karya-karya Syahrur selain di bidang Teknik, juga meliputi: Dirasat Islamiyyah Mu'asirah fi ad-Daulah wa al-Mujtama' (1994), al-Islam wa al-Iman Manzumah al-Qiyam (1996), Masyru' Misaq al-'Amal al-Islami (1999) dan Nahwa Usul li Fiqh Jadid: Fiqh al-Mar'ah (2000). Semua karya tersebut diterbitkan oleh al-Hali li at Tufi-Tiba'ah wa an-Nasyr wa at Tufi-Tauzi'—sebuah penerbit di Syiria yang kurang bergengsi, tetapi tidak konvensional, dan terkenal karena gerakan sayap kirinya dan penerbitan karya-karya liberal, khususnya di akhir tahun 80-an ketika Syahrur mulai menulis bagi penerbit tersebut.
Di samping karyanya dalam bentuk buku, Syahrur juga menulis beberapa artikel dalam beberapa jurnal dan situs internet, yang pertama, antara lain "The Divine Text and Pluralism in Moslem Societise" dalam Muslim Politics Report, 14 (1997) dan "Islam and The 1995 Beijing World Conference on Woman", dalam Kuwait Newspaper, dan kemudian bersama tulisan para pemikir "liberal Islam" lainnya, dipublikasikan dalam Charles Kurzman (ed.), Liberal Islam: A Sourcebook (New York & Oxford: Oxford Universitry Press, 1998). Tulisan dalam situs intenet, di antaranya "Reading the Religious text—A New Approach" dan "Applying the Concept of Limits to the Rights of Muslim Woman". Dan baru-baru ini, sebagai hasil dari tumbuhnya perhatian dan minat atas karya-karyanya dari luar Syiria, dia telah mulai menggunakan keping compact disk sebagai media baru untuk menyebarkan gagasan-gagasannya.
Pada tahun 1995, Syahrur pernah diundang menjadi peserta kehormatan dan terlibat dalam debat publik mengenai pemikiran keislaman di Lebanon dan Maroko. Syahrur juga terlibat dalam konferensi internasional yaitu MESA Conference tahun 1998 di Chicago dengan mempresentasikan tema tentang al-Qur'an dalam kaitannya dengan berbagai masalah sosial dan politik seperti hak-hak wanita dan pluralisme.
Sejak publikasi karya pertama Syahrur al-Kitab wa al-Qur’an yang kontroversial, berbagai respon intelektual bermunculan dalam skala luas, baik dari kolega-koleganya di Timur Tengah dan dunia Islam lainnya, maupun sejumlah sarjana Barat yang berminat atas ide-idenya yang kreatif dan anti ortodoks. Sebagai seorang insinyur berlatar belakang tekhnik, Syahrur harus menghadapi penentangan masif dari hampir seluruh para ahli yang profesional di bidang agama. Pada saat yang sama dia tidak memiliki lembaga pendukung, baik jaringan yang berbasis akademik maupun lembaga pendidikan Islam.
Al-Ma’rawiyyah dan asy-Syawwaf menganggapnya “telah dibayar oleh organisasi asing/zionis”, Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi menuduhnya “merusak otoritas dan persatuan umat Islam”, oleh Yusuf al-Qaradawi, ia dituduh “menciptakan agama yang benar-benar baru”, karyanya al-Kitab wa al-Qur’an diragukan orisinalitasnya oleh Mahir al-Munjid sebagai “plagiarisme” dan oleh Yusuf as-Saydawi, Ia dianggap berkomitmen melakukan perbuatan “dilettantisme” yang termaafkan dalam wilayah penafsiran”.


[1] Al-Kitab wa Al-Quran; Qiraah Mu`ashirah, (Al-Ahali, Beirut; 1992). www.shahrour.org
[2] Kurdi dkk. Hermeneutika Al-Quran dan Hadis, (Yogyakarta; Elsaq 2010), hlm. 287.