Berdasarkan kajiannya terhadap ayat-ayat hukum,
Syahrur
menyimpulkan adanya enam bentuk dalam teori batas yaitu:
Pertama, ketentuan hukum yang hanya memiliki batas bawah
(al-hada al-adna). Ini terjadi dalam hal: macam-macam perempuan yang tidak
boleh dinikahi (QS. an Nisa’: 22-23), berbagai jenis makanan yang diharamkan
(QS. al Maidah: 3), hutang piutang (QS. al Baqarah: 283-284). Dalam hal
perempuan yang dilarang untuk dinikahi, misalnya: berbagai macam perempuan yang
disebutkan dalam ayat merupakan batas minimal perempuan yang tidak boleh
dinikahi, tidak boleh kurang dari itu. Ijtihad hanya biasa dilakukan untuk menambah
macam-macam perempuan yang tidak boleh dinikahi.
Kedua, ketentuan hukum yang memiliki batas atas (al-hadd
al-a’la). Ini terjadi pada tindak pencurian (al Maidah: 38) dan pembunuhan (al
Isra’: 33). Hukuman potong tangan bagi pencuri, misalnya merupakan batas
maksimal10 sehingga tidak boleh memberikan hukuman yang lebih berat dari itu,
tetapi biasa memberikan hukuman yang lebih rendah (penjara).
Ketiga, ketentuan hukum yang memiliki batas atas dan batas
bawah sekaligus yang berlaku dalam hukum waris (an Nisa’: 11-14, 176), dan
poligami (an Nisa’: 3). Dalam masalah waris, menurut Syahrur, batas atas adalah
untuk ahli waris laki-laki dan batas bawah untuk perempuan. Maksudnya, bila
didasarkan pada ayat bagian laki-laki dan perempuan mengacu prinsip 2:1, maka
bagian 66,6 % bagi laki-laki merupakan batas atas sedangkan bagian 33,3 % bagi
perempuan merupakan batas bawah.11 Oleh karena itu jika pada suatu ketika
laki-laki hanya diberi bagian 60 %, dan anak perempuan diberi 40 % maka hal ini
dibolehkan. W\ilayah ijtihad terletak pada daerah antara batas atas bagi
laki-laki dan batas bawah bagi perempuan yang disesuaikan dengan kondisi
obyektif masyarakat untuk mendekatkan di antara kedua batas tersebut.
Keempat, ketentuan hukum yang mana batas bawah dan batas atas
berada pada satu titik (garis lurus). Ini berarti tidak ada alternatif hukum
lain, tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih dari apa yang telah ditentukan.
Menurut Syahrur bentuk keempat ini hanya berlaku pada hukuman zina, yaitu
seratus kali dera. Kemudian hukuman tersebut hanya dapat dijatuhkan dengan
adanya 4 orang saksi atau melalui li’an.
Kelima, ketentuan yang memiliki batas atas dan bawah tetapi
kedua batas itu tidak boleh disentuh, karena menyentuhnya berarti telah
terjatuh pada larangan Allah. Hal itu berlaku pada interaksi pergaulan antara
laki-laki dan perempuan yang dimulai dari tidak saling menyentuh sama sekali
antara keduanya (batas bawah) hingga hubungan yang hampir (mendekati) zina.12
Jadi, jika antara laki-laki dan perempuan melakukan perbuatan yang mendekati
zina tetapi belum berzina maka keduanya berarti belum terjatuh pada batas-batas
(hudud) Allah. Karena zinalah yang merupakan batas-batas yang ditetapkan Allah
yang tidak boleh dilanggar manusia.
Keenam, ketentuan hukum yang memiliki batas atas dan bawah,
dimana batas atasnya berlambangkan positif (+) dan tidak boleh dilampaui,
sedangkan batas bawahnya berlambangkan negatif (-) boleh dilampaui. Hal ini
berlaku pada hubungan kebendaan sesama manusia. Batas atas yang dilambangkan
positif (+) berupa riba, sementara zakat sebagai batas bawah dengan lambang
negatif (-). Batas bawah ini boleh dilampaui yaitu dengan berbagai bentuk
shadaqah, di samping zakat. Adapun diposisi tengah antara batas atas yang
positif dan batas bawah yang negatif adalah nilai nol (zero) yakni dalam bentuk
pinjaman kebajikan (al-Qard al-Hasan), memberi pinjaman tanpa memungut bunga
(riba).
Dengan teori batasnya yang diajukannya ia meyakini bahwa
risalah Rasulullah akan betul-betul terbukti sebagai Rahmatal lil ’alamin dan
Salih li kulli zaman wa makan. Karena berdasarkan teori ini hukum-hukum Islam
memiliki dinamika dan elastisitas yang sangat tinggi untuk menerima berbagai
bentuk perubahan zaman dan tempat dalam batas-batas tertentu.
Dr. Ir. Muhammad Syahrur merupakan seorang insinyur berkebangsaan Syria,
dilahirkan pada 1938M. Syahrur mengawali karir intelektualnya pada pendidikan
dasar dan menengah di tanah kelahirannya, tepatnya di lembaga pendidikan Abdurrahman
al-Kawakibi, Damaskus. Syahrur melanjutkan studinya ke Moskow, Uni
Suviet untuk mempelajari teknik sipil (handasah madaniyah) atas beasiswa
pemerintah setempat. Syahrur mulai berkenalan dengan pemikiran marxisme juga Hegel
-terutama dialektika-nya-dan Alfred North Whitehead. Gelar diploma dalam bidang
tersebut, ia raih pada tahun 1964. Lalu kembali ke Syria untuk mengabdikan
dirinya sebagai dosen pada Fakultas Teknik di Universitas Damaskus.[1]
Dan, pada tahun yang bersamaan, Syahrur melanjutkan studi ke Irlandia,
tepatnya di Ireland National University, Dublin dalam bidang studi mekanika
tanah dan tekhnik pondasi. Pada tahun 1967, Syahrur berhak untuk melakukan
penelitian pada Imperial College, London. Pada bulan Juni tahun itu,
terjadilah perang antara Inggris dan Syria yang mengakibatkan renggangnya
hubungan diplomatik antara dua negara tersebut. Namun hal tersebut tidak
menghambatnya untuk segera menyelesaikan studinya. Terbukti ia segera berangkat
kembali ke Dublin untuk menyelesaikan program Master dan Doktor-nya di bidang
mekanika pertanahan (soil mechanics) dan teknik bangunan (foundation
engineering). Gelar Doktor-nya ia peroleh pada tahun 1972. Syahrur secara
resmi menjadi staf pengajar di Universitas Damaskus sebagai Dosen Fakultas
Teknik. Pada tahun 1982-1983, Syahrur dikirim pihak universitas untuk menjadi
staf ahli pada al-Saud Consult, Saudi Arabia. Selain itu, bersama
beberapa rekannya di Fakultas, Syahrur membuka biro konsultan teknik (an
engineering consultancy/dar al-Istisyârat al-Handasiyah) di Damaskus.[2]
Sekilas, tidak ada
pendidikan formal tentang ke-Islam-an yang ditempuh oleh Syahrur, namun dengan
karyanya Al-Kitab wa Al-Quran; Qira`ah Mu`ashirah yang terbit 1990,
membuat namanya tersohor sebagai pemikir muslim kontemporer. Karya-karya
Syahrur selain di bidang Teknik, juga meliputi: Dirasat Islamiyyah Mu'asirah
fi ad-Daulah wa al-Mujtama' (1994), al-Islam wa al-Iman Manzumah
al-Qiyam (1996), Masyru' Misaq al-'Amal al-Islami (1999) dan Nahwa
Usul li Fiqh Jadid: Fiqh al-Mar'ah (2000). Semua karya tersebut
diterbitkan oleh al-Hali li at Tufi-Tiba'ah wa an-Nasyr wa at Tufi-Tauzi'—sebuah
penerbit di Syiria yang kurang bergengsi, tetapi tidak konvensional, dan
terkenal karena gerakan sayap kirinya dan penerbitan karya-karya liberal,
khususnya di akhir tahun 80-an ketika Syahrur mulai menulis bagi penerbit
tersebut.
Di samping karyanya dalam bentuk buku, Syahrur juga menulis
beberapa artikel dalam beberapa jurnal dan situs internet, yang pertama, antara
lain "The Divine Text and Pluralism in Moslem Societise" dalam Muslim
Politics Report, 14 (1997) dan "Islam and The 1995 Beijing World
Conference on Woman", dalam Kuwait Newspaper, dan kemudian bersama tulisan
para pemikir "liberal Islam" lainnya, dipublikasikan dalam Charles
Kurzman (ed.), Liberal Islam: A Sourcebook (New York & Oxford: Oxford
Universitry Press, 1998). Tulisan dalam situs intenet, di antaranya
"Reading the Religious text—A New Approach" dan "Applying the
Concept of Limits to the Rights of Muslim Woman". Dan baru-baru ini,
sebagai hasil dari tumbuhnya perhatian dan minat atas karya-karyanya dari luar
Syiria, dia telah mulai menggunakan keping compact disk sebagai media baru
untuk menyebarkan gagasan-gagasannya.
Pada tahun 1995, Syahrur pernah diundang menjadi peserta kehormatan
dan terlibat dalam debat publik mengenai pemikiran keislaman di Lebanon
dan Maroko. Syahrur juga terlibat dalam konferensi internasional yaitu
MESA Conference tahun 1998 di Chicago dengan mempresentasikan tema
tentang al-Qur'an dalam kaitannya dengan berbagai masalah sosial dan politik
seperti hak-hak wanita dan pluralisme.
Sejak publikasi karya pertama Syahrur al-Kitab wa al-Qur’an yang
kontroversial, berbagai respon intelektual bermunculan dalam skala luas, baik
dari kolega-koleganya di Timur Tengah dan dunia Islam lainnya, maupun sejumlah
sarjana Barat yang berminat atas ide-idenya yang kreatif dan anti ortodoks.
Sebagai seorang insinyur berlatar belakang tekhnik, Syahrur harus menghadapi
penentangan masif dari hampir seluruh para ahli yang profesional di bidang
agama. Pada saat yang sama dia tidak memiliki lembaga pendukung, baik jaringan
yang berbasis akademik maupun lembaga pendidikan Islam.
Al-Ma’rawiyyah
dan asy-Syawwaf menganggapnya “telah dibayar oleh organisasi asing/zionis”,
Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi menuduhnya “merusak otoritas dan persatuan
umat Islam”, oleh Yusuf al-Qaradawi, ia dituduh “menciptakan agama yang
benar-benar baru”, karyanya al-Kitab wa al-Qur’an diragukan
orisinalitasnya oleh Mahir al-Munjid sebagai “plagiarisme” dan oleh Yusuf
as-Saydawi, Ia dianggap berkomitmen melakukan perbuatan “dilettantisme” yang
termaafkan dalam wilayah penafsiran”.
[1]
Al-Kitab wa Al-Quran; Qiraah Mu`ashirah, (Al-Ahali, Beirut; 1992).
www.shahrour.org
[2]
Kurdi dkk. Hermeneutika Al-Quran dan Hadis, (Yogyakarta; Elsaq 2010),
hlm. 287.